Terapi penekan produksi asam lambung (acid-suppressive therapy) memiliki proporsi yang besar dalam keseluruhan terapi yang diberikan pada pasien yang berobat ke rumah sakit. Studi menunjukkan bahwa 40-70% pasien rawat inap mendapatkan terapi dengan satu atau lebih obat penekan asam lambung. Secara umum, penggunaan klinis dari obat penekan asam lambung mencakup penanganan perdarahan saluran cerna bagian atas, gastroesophageal reflux disease (GERD), erosive gastritis atau esophagitis, dispepsia, penanganan ulkus saluran cerna pada pasien yang mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), peptic ulcer disease (PUD), serta profilaksis stress ulcer. Tulisan ini bertujuan untuk membantu memahami lebih dalam mengenai stress ulcer dan implikasi klinisnya serta bagaimana menentukan tata laksana yang tepat, khususnya pada pasien yang berisiko tinggi.
Apa itu stress ulcer?
Stress ulcer atau yang dikenal juga dengan istilah stress-related mucosal disease, merupakan suatu kondisi peradangan akut, erosif, yang terjadi pada saluran cerna bagian atas dan berhubungan dengan kondisi sakit berat. Stress ulcer dapat ditemukan pada lebih dari 75% pasien dengan penyakit kritis yang mendapatkan perawatan di ICU. Stress ulcer mencakup spektrum klinis yang luas, mulai dari lesi superfisial asimtomatik yang ditemukan secara insidental pada saat dilakukan endoskopi, perdarahan tersamar, sampai dengan perdarahan saluran cerna dengan manifestasi yang jelas. Nyeri epigastrium disertai mual yang persisten merupakan gejala umum dari stress ulcer, namun seringkali tanda dan gejala perdarahan menjadi bukti klinis utama yang menandai terjadinya stress ulcer. Walaupun jarang, namun pada sebagian kecil kasus bahkan dapat terjadi perforasi yang bersifat fatal.
Patofisiologi dari terjadinya stress ulcer memang belum diketahui secara pasti, namun berbagai faktor yang mencakup penurunan aliran darah ke mukosa lambung, kondisi iskemia, reperfusion injury, gangguan mucosal defense, stres oksidatif diduga berkontribusi pada terjadinya stress ulcer. Kondisi-kondisi ini sangat rentan terjadi pada pasien dengan sakit berat. Studi menunjukkan adanya kelompok pasien yang tergolong berisiko tinggi mengalami stress ulcer, antara lain pasien kritis dengan ventilasi mekanik >48 jam, koagulopati (dan/atau trombositopenia), sepsis, gagal organ, luka bakar berat, dan trauma mayor. Stress ulcer juga bertanggung jawab pada peningkatan morbiditas dan mortalitas, serta memperpanjang masa perawatan pasien kritis yang dirawat di ICU.
Tata laksana stress ulcer
Salah satu tantangan dalam manajemen stress ulcer adalah respons terhadap terapi yang relatif rendah apabila diberikan setelah stress ulcer telah terjadi, khususnya dengan manifestasi perdarahan. Oleh karena itu, upaya profilaksis, terutama pada kelompok pasien berisiko tinggi, dipandang sebagai strategi yang efektif untuk meminimalisasi angka kejadian komplikasi yang tidak diharapkan.
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh American Society of Health System Pharmacists (ASHP), profilaksis stress ulcer direkomendasikan pada pasien dengan ventilasi mekanis >48 jam dan pada pasien dengan koagulopati, atau jika ditemukan dua atau lebih faktor risiko lainnya, antara lain: sepsis, perawatan intensif lebih dari satu minggu, perdarahan tersamar selama enam hari atau lebih, dan penggunaan corticosteroid dosis tinggi (ekuivalen dengan >250 mg hydrocortisone per hari). Pada pasien pediatri, faktor risiko yang diasosiasikan dengan peningkatan risiko perdarahan adalah gagal napas, koagulopati, dan skor Pediatric Risk of Mortality ≥10.
Selain kelompok di atas, ASHP juga merekomendasikan terapi profilaksis stress ulcer pada beberapa kelompok khusus seperti pasien ICU dengan Glasgow Coma Score ≤10 (atau kondisi yang tidak mampu melakukan instruksi sederhana), thermal injury seperti luka bakar >35% luas permukaan tubuh, pasien pascahepatektomi parsial, posttransplantation, multiple trauma, hepatic failure, dan pasien dengan spinal cord injury. Pediatri dengan thermal injury juga termasuk kelompok berisiko yang memerlukan profilaksis.
Golongan obat penekan produksi asam lambung (acid-suppressive therapy) seperti proton pump inhibitor/PPI (contoh: esomeprazole, pantoprazole, dsb.) serta H2-receptor antagonist/H2RA (contoh: ranitidine) menjadi golongan obat yang sangat diandalkan dalam upaya profilaksis stress ulcer. Obat golongan PPI memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kelompok H2RA yaitu mekanisme kerja yang membuat PPI bekerja lebih poten dalam menurunkan sekresi asam lambung, serta tidak menunjukkan fenomena toleransi seperti yang ditemukan pada penggunaan H2RA. Golongan gastroprotektor seperti sucralfate bekerja dengan membentuk lapisan barrier yang bersifat cytoprotective pada area yang mengalami erosi, sehingga mampu membantu mengurangi paparan asam lambung dan pepsin pada area tersebut. Keputusan untuk menggunakan obat ini harus didasarkan pada pertimbangan klinis dokter, khususnya jika akan digunakan pada pasien non-ICU, dengan mempertimbangkan rasio manfaat dan risiko.
Referensi:
1. Sheikh-Taha M, et al. Use of acid suppressive therapy in hospitalized non-critically ill patients. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2012;3(6):93–6.
2. Herzig SJ, et al. Acid-Suppressive Medication Use and the Risk for Nosocomial Gastrointestinal Tract Bleeding. Arch Intern Med. 2011;171(11):991-7.
3. Plummer MP, et al. Stress ulceration: prevalence, pathology and association with adverse outcomes. Crit Care 2014;18:213.
4. Wang X, et al. Oxidative stress is important in the pathogenesis of stress‑related mucosal disease. Experimental and Therapeutic Medicine 2020;20(83):1-8.
5. Megha R, et al. Stress-induced gastritis. (cited 2022, Mar 14). Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499926/
6. ASHP. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst Pharm. 1999;56:347-79.
MPL/OGB/013/III/2022
Comments