Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah kondisi di mana nilai tekanan darah lebih tinggi dari batas normal dan bersifat menetap atau persisten. Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki nilai tekanan darah yang menetap di atas atau sama dengan 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan/atau 90 mmHg untuk tekanan diastolik. Hipertensi juga dikenal sebagai penyakit kronis yang memerlukan penanganan dalam jangka panjang. Pasalnya, tanpa pengelolaan yang baik dan berkelanjutan, risiko komplikasi kesehatan terutama kejadian kardiovaskular akan meningkat. Beberapa komplikasi dapat bersifat fatal seperti serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal, dan sebagian lagi dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup, seperti gangguan penglihatan dan disfungsi seksual. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan tenaga kesehatan untuk memahami tata laksana penyakit hipertensi, baik yang dilakukan dengan pendekatan farmakologis (menggunakan obat-obatan) maupun melalui pendekatan nonfarmakologis (dengan modifikasi gaya hidup).
Pendekatan Nonfarmakologis
Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, di samping penggunaan obat-obatan (farmakoterapi), pendekatan nonfarmakologis harus selalu diupayakan dalam setiap tahap perjalanan penyakit dan derajat keparahan hipertensi untuk mendukung keberhasilan pengobatan. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah perubahan gaya hidup (lifestyle modification) yang bersifat heart-healthy-lifestyle atau gaya hidup yang baik untuk menjaga kesehatan jantung. Berikut adalah beberapa contoh pola hidup sehat yang dianjurkan khususnya bagi pasien yang telah terdiagnosis hipertensi:
Pola makan bergizi seimbang
Membatasi asupan garam dan minuman beralkohol
Olahraga teratur
Manajemen stres yang baik
Penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal
Berhenti merokok
Konsultasi rutin dengan dokter
Meski perubahan gaya hidup (lifestyle modification) dinilai mampu memberikan dampak positif terhadap perbaikan tekanan darah dan kualitas hidup pasien hipertensi, sebagian pasien mungkin masih memerlukan intervensi tambahan berupa pemberian obat untuk mengendalikan tekanan darah dan kondisi medis lainnya. Apabila modifikasi gaya hidup belum dapat mencapai target tekanan darah yang diinginkan, serta pada kondisi di mana tekanan darah saat diagnosis tergolong sangat tinggi atau telah terdapat bukti hypertension-mediated organ damage (HMOD) dan faktor risiko kardiovaskular lainnya, dokter dapat merekomendasikan pemberian obat antihipertensi untuk membantu mencapai target pengobatan yang diharapkan.
Terapi Farmakologis
Pendekatan farmakologis pada penyakit hipertensi adalah penggunaan obat-obatan yang dapat bekerja untuk membantu mengontrol tekanan darah. Terapi dengan antihipertensi umumnya sudah dapat dipertimbangkan mulai dari tahap fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas dan klinik (utama & pratama), sampai dengan fasilitas kesehatan tingkatan berikutnya.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian di bidang medis, penentuan terapi dengan antihipertensi melibatkan semakin banyak faktor pertimbangan untuk mampu menentukan regimen terapi yang paling sesuai untuk setiap individu. Nilai tekanan darah saja tidak cukup untuk menentukan apakah seorang pasien dapat menjalani intervensi berupa perubahan gaya hidup terlebih dahulu atau perlu dipertimbangkan untuk inisiasi obat dengan segera. Berbagai pedoman pengobatan terkini, termasuk Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019 menggarisbawahi perlunya penilaian risiko pada setiap pasien hipertensi. Penilaian risiko ini melibatkan beberapa komponen antara lain tahapan penyakit hipertensi, faktor risiko lain, adanya hypertension-mediated organ damage (HMOD), penyakit lain, serta derajat tekanan darah. Untuk meningkatkan keberhasilan terapi, perlu dilakukan evaluasi berkala untuk memastikan apakah terapi yang diberikan telah mampu mengendalikan tekanan darah dan progresivitas penyakit.
Gambar 1. Alur inisiasi terapi obat sesuai dengan klasifikasi hipertensi
Apa saja golongan obat yang sering digunakan untuk tata laksana hipertensi?
Menurut Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, terdapat lima golongan obat antihipertensi yang rutin direkomendasikan dalam penanganan hipertensi, yaitu: diuretik, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, angiotensin II receptor blockers (ARB), calcium channel blockers (CCB), dan beta-blockers. Berikut pembahasan lebih lanjut seputar lima golongan obat antihipertensi yang telah disebutkan:
1. Diuretik
Retensi garam dan cairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam patofisiologi hipertensi. Obat golongan diuretik bekerja dengan membantu membuang kelebihan garam dan cairan melalui urine. Terdapat beberapa jenis diuretik, antara lain diuretik tipe thiazide (hydrochlorthiazide), diuretik loop (furosemide), serta diuretik hemat kalium (spironolactone).
2. Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEi)
Obat golongan ACEi seperti captopril, lisinopril, enalapril, dan ramipril bekerja dengan cara menghambat kerja angiotensin-converting enzyme, yang bertugas untuk mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Penurunan jumlah angiotensin II dapat membantu mencegah efek fisiologis yang ditimbulkan dari ikatan antara angiotensin II dan reseptornya seperti vasokonstriksi serta reabsorpsi garam dan cairan yang berperan dalam kenaikan tekanan darah.
3. Angiotensin II receptor blockers (ARB)
Obat golongan ARB, seperti halnya ACEi, juga bekerja pada sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAA), namun dengan mekanisme aksi yang berbeda. Sesuai namanya, ARB bekerja dengan mencegah ikatan antara angiotensin II dan reseptornya sehingga efek vasokontriksi serta reabsorpsi garam dan cairan dapat diturunkan. ARB juga dikenal memiliki profil keamanan yang baik, sehingga mendukung peningkatan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi, termasuk hipertensi dengan berbagai komorbid seperti gagal jantung, sindrom metabolik, gagal ginjal, dan diabetes. Contoh obat golongan ARB antara lain: candesartan, irbesartan, losartan, valsartan dan telmisartan.
4. Calcium channel blockers (CCB)
Obat golongan CCB atau dikenal juga dengan obat antagonis kalsium membantu menurunkan tekanan darah dengan mencegah masuknya ion kalsium ke dalam sel miokardium jantung dan dinding pembuluh darah. Ion kalsium memiliki peranan dalam meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan pembuluh darah. Penghambatan influx ion kalsium ini akan menghasilkan efek vasodilatasi serta penurunan kontraktilitas otot jantung yang berdampak pada penurunan tekanan darah. Terdapat dua jenis CCB yaitu golongan dihydropyridine (contoh: amlodipine, nifedipine) dan nondihydropyridine (contoh: diltiazem, verapamil).
5. Beta-blockers
Beta-blockers atau penghambat beta adalah golongan obat yang bekerja dengan memblok ikatan antara cathecolamines seperti adrenaline/epinephrine dan noradrenaline/norepinephrine dengan reseptor beta-adrenergic yang berada di jantung dan pembuluh darah. Adrenaline dan noradrenaline adalah neurotransmitter yang dilepaskan saat terjadi aktivasi saraf simpatis, yang merupakan salah satu jalur fisiologis terjadinya peningkatan tekanan darah. Blokade reseptor beta-adrenergic yang dihasilkan oleh obat golongan beta-blockers diharapkan mampu menurunkan kontraktilitas jantung dan juga menyebabkan vasodilatasi yang berdampak pada penurunan tekanan darah. Contoh obat golongan beta-blockers antara lain bisoprolol, nebivolol, dan propranolol.
Algoritma umum untuk terapi antihipertensi
Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019 dari Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia memuat algoritma farmakoterapi yang dapat digunakan untuk panduan praktis pada pengobatan hipertensi. Beberapa rekomendasi utama yaitu:
1. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi 2 obat
2. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS blocker (renin-angiotensin system blocker), yakni ACEi atau ARB, dengan CCB atau diuretik
3. Kombinasi beta-blocker dengan diuretik atau obat golongan lain dianjurkan bila ada indikasi spefisik seperti angina, pasca serangan jantung, gagal jantung, dan untuk kontrol denyut jantung
4. Pertimbangkan monoterapi bagi pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah (TDS <150 mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-tinggi dan berisiko sangat tinggi, pasien usia sangat lanjut (≥80 tahun) atau kondisi fisik lemah (ringkih)
5. Kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEi atau ARB), CCB, dan diuretik dapat digunakan jika tekanan darah tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat
6. Spironolactone dapat ditambahkan untuk pengobatan hipertensi resistan, kecuali terdapat kontraindikasi
7. Penambahan obat golongan lain pada kasus tertentu bila tekanan darah belum terkendali dengan kombinasi obat golongan yang telah disebutkan di atas
8. Kombinasi dua RAS blocker (ACEi dan ARB) tidak direkomendasikan.
Pentingnya kepatuhan pasien (patient compliance) dalam mencapai target pengobatan hipertensi
Hipertensi adalah kondisi medis kronis yang membutuhkan penanganan jangka panjang. Oleh karena itu, kepatuhan pasien memegang peranan penting terhadap pencapaian keberhasilan terapi berbagai penyakit kronis. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, pada pasien hipertensi yang tercatat berdasarkan hasil survei terkait adanya riwayat diagnosis maupun pengobatan dengan antihipertensi, hanya setengah (54,4%) yang mengaku rutin meminum obat, 13,3% pasien bahkan tidak meminum obat sama sekali dan 32,3% lainnya meminum obat walaupun tidak rutin. Penyebab ketidak patuhan minum obat yang dilaporkan antara lain pasien merasa sudah sehat, tidak rutin kontrol ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), pasien meminum obat tradisional, lupa, tidak mampu membeli obat rutin, tidak tahan terhadap efek samping obat, obat tidak tersedia di fasyankes, dan penyebab lainnya. Beragam faktor penyebab ketidakpatuhan inilah yang menjadi tantangan tersendiri untuk pencapaian tujuan pengobatan hipertensi. Setiap pasien mungkin memiliki faktor penyebab ketidakpatuhan yang berbeda, maka diperlukan upaya dari tenaga kesehatan untuk menggali masalah pengobatan yang dijumpai oleh pasien dalam menjalani pengobatannya.
Regimen pengobatan yang sederhana dengan obat yang memiliki profil keamanan yang baik dan harga yang terjangkau dapat menjadi salah satu strategi yang dapat diupayakan untuk meningkatkan kepatuhan minum obat. Sebagai contoh, terapi hipertensi dengan ARB seperti telmisartan memungkinkan regimen yang sederhana karena obat ini memiliki waktu paruh yang panjang sehingga cukup diberikan satu kali sehari, efektif menurunkan tekanan darah dan memiliki manfaat tambahan pada perbaikan parameter metabolik dengan profil keamanan yang baik, dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat karena telah tersedia dalam bentuk obat generik berlogo (OGB).
Dalam data Riskesdas 2018, alasan terbanyak (59,8%) yang menyebabkan pasien hipertensi tidak patuh minum obat adalah pasien merasa sudah sehat. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi kepada masyarakat luas mengenai karakter penyakit hipertensi yang cenderung silent atau tidak bergejala, sehingga penting untuk selalu melakukan pemeriksaan rutin tekanan darah baik di rumah dan secara berkala di fasyankes untuk memastikan tekanan darah terkontrol dengan baik.
Referensi
1. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019. Available from: http://faber.inash.or.id/upload/pdf/article_Update_konsensus_201939.pdf
2. High Blood Pressure (hypertension). Available from: https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/high-blood-pressure/diagnosis-treatment/drc-20373417
3. Infodatin. Hipertensi si Pembunuh Senyap. Available from: https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hipertensi-si-pembunuh-senyap.pdf
4. Dézsi CA. The Different therapeutic choices with ARBs. which one to give? When? Why?. Am J Cardiovasc Drugs. 2016;16(4):255-66.
MPL/OGB/019/VIII/2021
Commenti